Bila kita membaca sejarah islam, kita akan mendapati fakta
bahwa negeri Mesir seakan tak pernah
kehabisan stok orang alim. Di negeri inilah lahir ribuan orang alim. Salah satu
yang terkemuka ialah Ibnu Athaillah al-Iskandari. Nama lengkap beliau ialah
Tajuddin Abul Fadhl Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim bin Athaillah al-Judzami
al Maliki al Iskandari. Beliau lahirpada 648 Hijriah atau 1250 Masehi di
Iskandariah, Mesir. Yang populer dengan nama Ibnu Athaillah.
Ibnu Athaillah terlahir dari keluarga yang sangat fanatic
dan kuat dalam beragama. Kakek beliau yang bernama Abdul Karim bin Athaillah
merupakan pendiri salah satu dari tiga Dinasti Malikiah di Iskandariah. Dua
dinasti yang lainnya ialah Dinasti Bani Auf dan Dinasti Bani Sanad. Dari sini sudah
jelas kiranya Madzab Maliki sudah diwarisi oleh Ibnu Athaillah dari garis
keluarganya.
Pendidikan awal Ibnu Athaillah diperoleh dari orang tuanya
sendiri yang merupakan Ulama terkemuka pada masa itu. Namun karena kecintaannya
terhadap ilmu agama sangatlah besar, beliau juga berguru kepada para Ulama lain
di Iskandariah. Pada masa itu, fokus keilmuannya adalah
tafsir,hadis,fikih,tauhid dan sastra arab. Beliau terkenal sangat fanatic
dengan ilmu fikih, sehingga menolak keras ajaran tasawuf. Setelah menamatkan
pendidikannya, beliau dikenal cerdas dan mulai mengajar di daerahnya. Saat itu
beliau masih relatif muda dan keilmuannya masih diragukan.
Saat itu, beliau berjumpa dengan seorang sufi besar, yakni
Syekh Abul Abbas al-Mursi, murid dari Syeikh Abi Hasan as-Syadzili, yang
kemudian menjadi guru besarnya dalam mendalami ilmu tasawuf. Seperti yang
tertulis pada syarah kitab Al-hikam, mulanya
Ibnu Athahillah sangat anti dengan ilmu tasawuf, beliau penasaran dengan dunia
sufi, lalu beliau mengikuti pengajiannya Syeikh Abul Abbas al-Mursi, disana
juga beliau mulai memahami hakikat ilmu tasawuf,ketika moment dimana saat Syeikh
Abul Abbas menjelaskan sejatinya ilmu tasawuf itu sama sekali tidak
bertentangan dengan ilmu syariat dalam artian ilmu fikih. Syeikh Abul bbas
menjelaskan bahwa yng membedakan hanya gaya bahasa saja, dalam islam ada
Syariat,Thariqat dan Ma’rifat, bisa juga disebut Iman,Islam dan Ihsan atau
fikih, adab dan sir, dan seterusnya dengan kosa kata yang berbeda namun bermakna
sama, dan konon bahasa yang dipakai Syeikh Abul Abbas sampai membuat Ibnu
Athaillah tak mengerti kosa kata yang dipakai Syeikh Abul Abbas untuk
mengutarakan berbagai jenis kosa kata yang mempunyi arti sama dengan Iman,Islam
dan Ihsan.
Dalam pengajian tersebut, Ibnu Athaillah mulai berfikir
bahwa ilmu taswuf itu tidak mengabaikan syariat sebagaimana yang beliau fahami
sebelumnya. Bisa dikatakan, berkat Syeikh Abul Abbas al Mursi inilah Ibnu
Athaillah mulai mendalami ilmu tasawuf dan bahkan beliau bergabung dengan
thariqat Syadziliyah. Untuk memperdalam ilmu tasawuf, beliau juga berguru
kepada ulama sufi lain, seperti Nasruddin al-Munir, Syarafudin ad-Dimyati,
al-Muhyi al-Mazani dan syamsuddin al-Asfahani.
Semasa hidup , Ibnu Athaillah menulis lebih dari 20 buku,
meliputi ilmu bidang tasawuf,hadis, tafsir, fikih, nahwu dan akidah. Diantara
karya beliau dalah Al-Hikam, at-Tnwir fi
Isqat at- Tadbir, Tajul Arus al Hawi Litahzibin Nufus dan lain sebagainya. Dari berbagai karya
beliau yang paling popular ialah Al-Hikam,
kitab ini bisa dikatakan Magnum Opus
dari Ibnu Athaillah, sehingga beliau dikenal diseluruh dunia.
Al-hikam sangat
digemari sejumlah kalangan yang memperhatikan masalah kerohanian. Bisa
dikatakan kalau Al Hikam merupakan sari dari pengetahuan ilmu tasawuf. Kitab ini memuat 42 buah kalimat yang
mengandung hikmah sufi, tapi bermakna dalam dan luas. Karena itu wajarlah jika
kitab ini banyak sekali dikaji, di syarah, dan diterjemahkan dalam berbagai
bahasa di dunia. Diantara nama pensyarah yang terkenal ialah Syeikh Ahmad
Zarruq, Ahmad bin Ajiba dan Mbah Sholeh Darat, nama terakhir ialah Ulama dari
Jawa Tengah, Indonesia.
Karena keluasan ilmu, hati dan fikirannya, Ibnu Athaillah
sempat menjadi guru besar di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir. Inilah sedikit
biografi Ibnu Athaillah al Iskandari, beliau wafat pda tanggal 16 Jumadil Akhir
tahun 709 Hijriah atau 21 November 1309 Masehi, saat masih mengabdikan dirinya
di Al Azhar. Hal ini membuktikan bahwa dedikasi beliau sangat tinggi dalam
dunia pendidikan agama islam. Usia beliau saat itu menginjak 60 tahun, dan
jenazahnya disemayamkan di Qarafah, Iskandariah. Semoga Allah Swt senantiasa
melimpahkan Rahmat dan MaghfirahNya kepada Ibnu Athaillah.
“Istirahatkanlah dirimu dari kesibukan mengurusi duniawi. Tidaklah
perlu bagimu ikut campur atas urusan yang telah diatur oleh Allah.”
Ibnu athaillah RA
Wallahu a’lam
1 comments:
Tambah lagi om,kisah sufinya
Post a Comment